NANA
KOROBI YA OKI
Waktupun terus berjalan hingga
akhirnya Fatimah pulang setelah mendengar ceritaku yang sangat panjang tentang
Ibu Nozawa. Aku yang sedari tadi berdiri mematung didepan secarik kertas
bertuliskan “Nana Korobi Ya Oki” yang ku tulis sendiri dan ku tempel di depan
lemariku sembari memikirkan hal apa yang akan terjadi besok. “Astagfirullah..
Aisyah lupa besok ada ulangan matematika”. Aku pun berlari menuju meja belajar
dan menyiapkan buku dan alat tulis untuk mengasah kemampuanku.
***
(Saahuurr... Saahuuurrr...
Sahuuurrrr)
“Pemirsa, kasus narkoba kini makin
marak terjadi. Kali ini bukan orang dewasa saja yang menjadi dalangnya, nyatanya
Siswa SMA 1432 juga diduga dalang dari tersebarnya ganja dikota Jakarta. Kasus
ini dibuktikan dengan ditemukannya ganja seberat 1 kg dikediaman siswa tersebut.
Siswa mengaku...”
Aku pun segera mematikan televisi
ketika ku dengar suara teriakan ibu yang menyuruhku untuk menyegerakan makan
sahur.
“Berita tentang apa tadi Aisyah?”
“Berita tentang narkoba tuh yah,
masa anak SMA yang jadi pengedar
narkobanya yah. Padahal kan narkoba itu jelas jelas gak ada manfaatnya”
“Tuh Aisyah, jangan bergaul
sembarangan yaa. Pilih teman yang memberi pengaruh baik. Sebaik-baiknya teman
ialah yang selalu mengingatkanmu kepada Allah” jelas ibu menyambung percakapan
kami.
“Iya bu, Aisyah akan jaga diri.
Lagi pula tidak ada untungnya berurusan dengan narkoba, apalagi kalau sampai
menggunakannya. Itu hanya akan merusak diri dan mempermalukan sanak keluarga,
iyakan bu?” jawabku sembari mengedipkan mata.
“Iya.. pintar sekali anak Ibu, belajar
yang rajin yaa nak! Buat bangga ibu dan ayah. Ayo makan yang banyak biar besok
kuat puasanya” sahut ibu sambil tertawa kecil.
Setelah sahur usai kami pun
menunaikan ibadah sholat shubuh berjama’ah. Tak lupa dilanjutkan dengan tadarus
hingga sinar sang surya datang menyapa kami.
“Aisyah pamit ya bu,
Assalamu’alaikum”
Hari ini hari senin, hariku untuk
kembali ke sekolah. Tak lupa aku mencium tangan ibu dan ayah sebelum aku
berangkat. Hari ini aku harus sampai tepat waktu, karena aku sudah ada janji
bertemu dengan ibu Nozawa.
***
Aku
pun sudah sampai disekolah, dan sekarang aku berdiri tepat dihadapan Ibu
Nozawa.
“Mengapa tegang begitu Aisyah?”
“Ti... tidak bu. Saya hanya
dagdigdug karena tiba-tiba harus menemui ibu. Apa saya membuat kesalahan bu?”
Ibu Nozawa justru tertawa mendengar
pertanyaanku dan membuatku menjadi semakin bingung.
“Begini
Aisyah, di mata pelajaran Sastra Jepang nilaimu lah yang paling baik begitupun
pada saat eskul Bahasa Jepang, Aisyah lah yang paling aktif. Jadi ibu
merekomendasikan Aisyah untuk mengikuti lomba pidato berbahasa jepang. Ini
formulirnya tolong diisi ya Aisyah”
“Ba..ba.. baiklah bu”
Kekhawatiran
itupun serasa luluh berganti dengan perasaan lega. Namun, dengan mata melotot,
aku pun terkejut melihat biaya pendaftarannya. Tapi karena tak enak dengan Ibu
Nozawa, aku pun tersenyum tipis.
“Tenang Aisyah, soal biaya
pendaftarannya biar Ibu yang menanggungnya” sembari Ibu Nozawa tersenyum ramah
“Subhanallah..
Ini serius ibu? Alhamdulillah Yaa Allah, InsyaAllah Aisyah tidak akan
mengecewakan ibu” mataku pun berkaca-kaca mendengar pernyataan Ibu Nozawa.
***
Hari demi hari
pun berganti, tak ku siakan sedetik pun waktu yang terlewat. Bagiku apa yang
dikatakan Ibu Nozawa bukan hanya sekedar pujian, melainkan sebuah amanah. Cermin
dan secarik tulisan inilah yang menjadi saksi buta kesungguhanku.
Hingga tepat di
hari ini, aku berdiri di atas podium, membacakan bait per bait tulisan yang ku
rangkai, menukar-nukar posisi kertas yang ku pegang. Yaapp.. sungguh jantung
ini dagdigdug menunggu hasilnya.
“Aisyah, tadi
pidatonya bagus sekali. Suara Aisyah juga lantang, jangan gugup gitu dong.. Ibu
yakin Aisyah menang” hibur Ibu Nozawa kepadaku.
“Aamiin bu, tapi
Aisyah takut mengecewakan Ibu. Ibu sudah banyak berkorban untuk lomba ini”
jawabku dengan mata berkaca-kaca.
“Tidak apa-apa,
soal itu jangan Aisyah pikirkan lagi yaa. Ibu bangga dengan Aisyah, karena
Aisyah sudah mau berusaha” jelas Ibu Nozawa dengan senyuman hangatnya.
Peserta lain pun
saling bergantian naik ke atas podium. Kelantangan suara mereka semakin
meyakinkan ku bahwa mereka adalah rival yang berat. Hingga sampai dipenghujung
acara dan dalam hitungan beberapa menit lagi hasil perlombaan pun dibacakan. Terlihat
juri yang sibuk mendiskusikan 3 Jagoan pada hari ini. Nampak kerutan wajah dari
juri menandakan bahwa sulit untuk menentukan siapa Jawaranya. Hingga.. tersebutlah
3 Jagoan itu.
“Tidak apa-apa
Aisyah. Menang dan kalah itu hanya bumbu dalam perlombaan, yang terpenting
adalah bagaimana usaha Aisyah untuk mengikuti perlombaan ini. Ibu yakin Aisyah
oarang hebat yang tak mungkin menyerah hanya karena pernyataan juri tadi”
terang Ibu Nozawa sembari memelukku.
Sedih sekali
rasanya, ketika aku sukses membuat Ibu Nozawa kecewa. Dari urutan 1 sampai 3
tak ada sama sekali terselip namaku. Perasaanku jadi tak karuhan, hanya rasa
bersalah kepada Ibu Nozawa yang ku rasakan saat ini. Namun, kata-kata Ibu
Nozawa tadi membangunkan ku dari kesedihan yang melarutkan ku. Bukankah itu
prinsip utama ku? Tak boleh menyerah begitu saja. Sepulang dari perlombaan aku
pamit pada Ibu Nozawa dan bergegas pulang kerumah. Sesampainya, aku bergegas
menuju kamar. Merebahkan tubuh mungil ini di atas kasur sambil memandang
secarik kertas yang tertempel dilemariku. Tiba-tiba muncul ide untuk menebus kekecewaan
Ibu Nozawa saat itu.
“Kali ini, aku
harus merahasiakannya dari Ibu Nozawa. Jangan sampai aku mengecewakan beliau
lagi” ucapku didepan secarik kertas itu.
Ku ambil laptop
ku dan ku telusuri laman-laman yang biasanya mengadakan perlombaan dengan
hadiah pergi ke Jepang. Alhamdulillah, aku pun menemukannya. Ku putuskan diriku
untuk mengikuti perlombaan itu. Namun, biaya pendaftarannya. Aku hampir pingsan
memikirkannya. Sungguh tak enak hati bila aku harus merengek kepada ayah, sudah
cukup aku merepotkan beliau. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyisihkan uang
saku ku. Karena deadline lomba yang masih lama, aku rasa ini akan cukup.
***
Sesampainya di
sekolah, aku mencetak formulir di ruang keseketariatan Ekskul Bahasa Jepang.
Aku pun mengendap-ngendap keluar dari ruangan itu. Aku tak ingin Ibu Nozawa
melihat formulir ini. Setelah lolos dari ruangan, aku bergegas lari menuju
kelas. Namun, (bruukk) aku tak sengaja menabrak Ibu Nozawa, buku-buku pun terhambur diatas lantai, begitupun dengan
formulirku yang terbang menghampiri Ibu Nozawa.
“Maafkan Aisyah
ibu, Aisyah tak sengaja” ucapku sambil membantu Ibu Nozawa membereskan bukunya
dengan tatapan mata yang mengkeker kertas formulir itu.
“Tidak apa-apa
Aisyah, ada apa dengan Aisyah? Mengapa seperti terburu-buru?” jawab Ibu Nozawa
sambil merapikan buku yang hampir selesai tersusun.
Aku pun hanya
membalas pertanyaan Ibu Nozawa dengan senyuman tipis. Setelah buku itu tepat
selesai tersusun, aku pun bergegas mengambil kertas formulir yang berada dekat
Ibu Nozawa sambil berharap beliau belum membacanya. Setelahnya aku pamit dan
pergi meninggalkan Ibu Nozawa dengan wajah bingung penuh tanda tanya.
(krrrrrrkkkk...
krrrrrrkkkk... krrrrrrkkkk...)
“Astagfirulloh..
maafkan aku kertas”
Kamar yang amat
sempit ini, sekarang menjadi lebih sempit lagi dengan taburan kertas-kertas
yang berisikan gambar-gambar manga dan dialognya. Butuh berhari-hari untuk aku
menyelesaikannya, dan sekarang hampir saja aku merusaknya dengan kakiku yang
jail ini. Berhari-hari aku menghabiskan waktuku dikamar untuk mengejar
deadline. Yaa.. target itu harus kupastikan tidak melenceng jauh. Mengingat kejadian
minggu lalu dipodium, dan aku tidak boleh lengah walau sedetikpun.
(Kriiingggggg)
Alarm pun sukses
membangunkan ku. Aku tak sadar sehabis sholat aku tertidur ditumpukkan
kertas-kertas yang siap untuk kutukarkan dengan tiket kemenangan. Yeaayy, aku bergegas
dan kemudian berangkat ke sekolah.
Sepulangnya dari
sekolah, aku bergegas berlari ketempat pengumpulan hasil karya perlombaan itu.
Ramainya lalu lalang orang cukup membuatku kesulitan untuk berlari lebih cepat
lagi, ku susuri gang-gang sempit demi mendapatkan jalan yang lebih sepi dari
jalan raya. Teriknya sang surya siang ini cukup menggodokku disepanjang jalan. Waktu
yang terpampang di jam tanganku cukup meyakinkan ku bahwa aku akan sampai
disana tepat waktu. Deadline tersisa 5 menit lagi dan aku tepat berdiri
dihadapan gedung itu, aku tersenyum simpul bersyukur kepada Allah atas
karunianya ini. Ku cepatkan langkahku bersama doa-doa yang tak lupa kuselipkan
disetiap langkah itu.
(bruukkkk) Yaa
Allah, aku tak sengaja menabrak seorang wanita asing, alhasil karyaku terbang
berhamburan kemana-mana. Wanita itu pun merasa bersalah dan berulang-ulang
meminta maaf kepadaku sembari membantu merapikan kembali hasil karyaku. Entah
mengapa saat itu aku merasa seperti manusia jahat yang tak menghiraukan
sedikitpun wanita tersebut, aku hanya terpaku pada karyaku. Seperti terlatih,
tanganku dengan cekatan merapikan susunan-susunan kertas itu sembari berharap
tak ada kesalahan yang membuat posisinya tertukar. Setelah selesai aku bergegas
ke ruangan pengumpulan hasil karya. Namun apa yang terjadi? Karyaku ditolak
dengan alasan aku sudah telat beberapa menit. Yaa Allah, dada ini terasa
seperti sulit untuk bernafas, sesak! Cobaan ini sungguh tak terpikirkan. Kuputar
balik langkahku, kali ini langkah kaki ku tak secepat ketika aku berangkat.
Kali ini langkah kaki ku tak sendirian, Ia ditemani dengan air mata yang ikut
membantu kaki ku menghitung langkahnya.
Tepat diruang
sekre, kuhempaskan kertas keramat itu. Kertas yang telah kupercantik dan ku
jaga berminggu-minggu itu kini tak ada artinya. Aku bersyukur tak pernah
menceritakan ide gila ini kepada Ibu Nozawa. Kenapa begitu? Karena kalau aku
menceritakan hal ini padanya, berarti aku sukses membuatnya kecewa dua kali.
Bayangkan dua kali!
Tapi aku yakin,
Allah punya rencana lain. Aku tidak akan menyerah hanya karena penolakan halus
panitia itu. Mungkin ucapannya tadi sukses menjatuhkan air mataku, namun tidak
dengan semangatku. Yaa! Tidak akan pernah!
***
Sekre ini
terlihat sepi sejak juri itu bertindak tidak adil terhadap Aisyah. Aku yakin,
harusnya nama Aisyah terselip diantara 3 jawara yang telah dinobatkan. Namun apa?
Juri itu sukses membuat muridku terjebak dalam perasaan bersalahnya. Ooh
Aisyah.. Ibu tidak pernah sedikitpun kecewa padamu nak!
(kkkrrrrkkk)
“Kertas apa ini? Mengapa berserakan seperti
ini?”
Didalam sekre aku menemukan
kertas-kertas berserakan. Kertas itu lebih akrab ku panggil komik. Ukiran
gambar dan dialognya sangatlah Apik. Sangat pantas apabila pengarangnya
dinobatkan sebagai sang juara.
“Aisyah?”
Aku takjub
ketika aku menemukan nama pengarangnya. Yaa.. pengarangnya adalah muridku yang
kini sedang terperangkap dalam perasaan bersalahnya. Aku bahagia sekaligus
terharu ketika mengingat kejadian bulan lalu. Ketika aku berkunjung kerumahnya
untuk mengantarkan sertifikat kelulusan privat Bahasa Jepangnya. Tak sengaja
aku melihat secarik kertas yang tertempel dilemari kamarnya. “Nana Korobi Ya Oki”,
yang dalam Bahasa Indonesia artinya “Jatuh Tujuh Kali, Bangkit Delapan Kali”.
Disanalah, tepat didepan pintu kamarnya aku memiliki keyakinan bahwa kertas
mungil itu bukan tertempel tanpa sebab. Melainkan kertas itu merupakan simbol
dari diri Aisyah. Kini.. keyakinanku itu semakin diperkuat dengan kegigihan
Aisyah yang mampu untuk bangkit lagi. Rupanya aku hampir salah menilainya. Aku
pikir dia sedang terkurung dalam perasaan bersalahnya.
“Ooh Aisyah..
ibu semakin bangga padamu nak!”
Tak terasa air mataku jatuh satu
per satu. Sungguh rasa terharu ini tak mampu membendungnya. Kuputuskan karya
ini untuk ku ikutsertakan dalam ajang bergengsi. Kali ini dugaanku tidak akan
meleset. Aku yakin Aisyah akan dinobatkan sebagai pemenang. Festival of Tokyo
tidak akan mampu menolak karya sebaik ini.
“Aisyah,
sabarlah menunggu penobatanmu nak!”
***
Hari ini adalah
hari terakhir aku bersekolah. Senang rasanya karena seminggu lagi lebaran akan
tiba. Namun aku sedih, karena harus berpisah dengan bulan Ramadhan yang mulia
ini. Ramainya siswa-siswi yang saling salam bersalaman membuat aku kesulitan
menemukan Ibu Nozawa. Kali ini aku akan benar-benar meminta maaf pada beliau
karena aku belum bisa menebus kekecewaannya sejak peristiwa dipodium itu.
Tiba-tiba aku tersentak kaget ketika ada sesorang yang menepuk bahuku. Sontak
akupun menengok.
“Ibu Nozawa? Ibu
membuat Aisyah kaget saja bu” responku sembari tertawa kecil
Namun aku
bingung, Ibu Nozawa tidak mengindahkan responku. Tatapan tajam Ibu Nozawa
seperti memberi signal bahwa beliau sedang tidak sedang di zona bercanda. Tanpa
kuminta, jantung ini menjadi berdetak lebih kencang. Masih dengan tatapan yang
sama, Ibu Nozawa memberikanku secarik surat. Entah itu surat apa. dibungkus
rapi dalam amplop putih mulus bersih. Deguban jantung ini kini ditemani dengan
rasa kekhawatiran yang hebat.
“Bukalah surat
itu dan baca!”
Tangan yang
sedari tadi gemetaran mencoba untuk membuka amplop tersebut. Dengan kebaranian
ala kadarnya, kucoba menyisir satu per satu kalimatnya. Sembari berharap tak
ada duka yang tersirat didalamnya.
“Festival of
Tokyo? Juara Terfavorit kategori komik?”
Aku pun semakin
bingung dengan kalimat-kalimat didalamnya. Aku rasa Ibu Nozawa salah
mengantarkan surat. Aku hanya memasang muka bingung disepan Ibu Nozawa. Ku tatap
sekali lagi wajah beliau. What? Aku lebih kaget ketika kudapati wajah beliau
berubah. Tatapan tajam beliau tadi seolah-olah luntur oleh senyuman hangatnya.
Yaa Allah.. aku semakin bingung dengan ini semua.
“Selamat yaa
nak, Ibu bangga padamu! Komik yang Aisyah tinggalkan disekre minggu lalu, ibu
ikut sertakan dalam Festival of Tokyo. Dan dengan kegigihan Aisyah, kini Aisyah
berhak mendapat gelar ini”
Ibu Nozawa
sontak memelukku. Aku pun membalas pelukan
hangatnya. Tak lupa kusampaikan ucapan terima kasihku bersama isakan
tangis haruku. Aku tak pernah menyangkanya. Terimakasih Yaa Allah atas kado
spesial yang telah Kau berikan lewat tangan Ibu Nozawa. This is My Special Ramadhan.
Hadiah istimewa dibulan yang juga istimewa.
“Bersiaplah nak!
Seminggu lagi kau akan pergi ke Jepang untuk bertemu dengan tempat jati dirimu
berasal. Nana Korobi Ya Oki!” tegas Ibu Nozawa sambil tersenyum
“Lho? Bagaimana
Ibu tau?”
“Kejadian
sebulan lalu, tepat ketika ibu berkunjung kerumahmu. Secarik kertas itu. Ibu
yakin itulah jati dirimu!”
Aku pun semakin
larut dalam suasana haru. Tak henti-hentinya kuucapkan rasa syukur kepada
Allah, juga ucapan terimakasih kepada Ibu Nozawa yang terus mengalir bersama
air mataku. Ibu Nozawa, terimakasih sudah percaya dengan secarik tulisan itu.
Terimakasih telah meyakini bahwa itu adalah jati diriku. Terimakasih telah
mengantarkanku ke Negara Impianku. Terimakasih ibu!
Nana
Korobi Ya Oki
“Jatuh
Tujuh Kali, Bangkit Delapan Kali”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar