Kamis, 13 April 2017

JATUH TUJUH KALI, BANGKIT DELAPAN KALI

NANA KOROBI YA OKI

Waktupun terus berjalan hingga akhirnya Fatimah pulang setelah mendengar ceritaku yang sangat panjang tentang Ibu Nozawa. Aku yang sedari tadi berdiri mematung didepan secarik kertas bertuliskan “Nana Korobi Ya Oki” yang ku tulis sendiri dan ku tempel di depan lemariku sembari memikirkan hal apa yang akan terjadi besok. “Astagfirullah.. Aisyah lupa besok ada ulangan matematika”. Aku pun berlari menuju meja belajar dan menyiapkan buku dan alat tulis untuk mengasah kemampuanku.
***
(Saahuurr... Saahuuurrr... Sahuuurrrr)
“Pemirsa, kasus narkoba kini makin marak terjadi. Kali ini bukan orang dewasa saja yang menjadi dalangnya, nyatanya Siswa SMA 1432 juga diduga dalang dari tersebarnya ganja dikota Jakarta. Kasus ini dibuktikan dengan ditemukannya ganja seberat 1 kg dikediaman siswa tersebut. Siswa mengaku...”
Aku pun segera mematikan televisi ketika ku dengar suara teriakan ibu yang menyuruhku untuk menyegerakan makan sahur.
“Berita tentang apa tadi Aisyah?”
“Berita tentang narkoba tuh yah, masa anak SMA yang  jadi pengedar narkobanya yah. Padahal kan narkoba itu jelas jelas gak ada manfaatnya”
“Tuh Aisyah, jangan bergaul sembarangan yaa. Pilih teman yang memberi pengaruh baik. Sebaik-baiknya teman ialah yang selalu mengingatkanmu kepada Allah” jelas ibu menyambung percakapan kami.
“Iya bu, Aisyah akan jaga diri. Lagi pula tidak ada untungnya berurusan dengan narkoba, apalagi kalau sampai menggunakannya. Itu hanya akan merusak diri dan mempermalukan sanak keluarga, iyakan bu?” jawabku sembari mengedipkan mata.
“Iya.. pintar sekali anak Ibu, belajar yang rajin yaa nak! Buat bangga ibu dan ayah. Ayo makan yang banyak biar besok kuat puasanya” sahut ibu sambil tertawa kecil.
Setelah sahur usai kami pun menunaikan ibadah sholat shubuh berjama’ah. Tak lupa dilanjutkan dengan tadarus hingga sinar sang surya datang menyapa kami.
“Aisyah pamit ya bu, Assalamu’alaikum”
Hari ini hari senin, hariku untuk kembali ke sekolah. Tak lupa aku mencium tangan ibu dan ayah sebelum aku berangkat. Hari ini aku harus sampai tepat waktu, karena aku sudah ada janji bertemu dengan ibu Nozawa.
***
Aku pun sudah sampai disekolah, dan sekarang aku berdiri tepat dihadapan Ibu Nozawa.
“Mengapa tegang begitu Aisyah?”
“Ti... tidak bu. Saya hanya dagdigdug karena tiba-tiba harus menemui ibu. Apa saya membuat kesalahan bu?”
Ibu Nozawa justru tertawa mendengar pertanyaanku dan membuatku menjadi semakin bingung.
“Begini Aisyah, di mata pelajaran Sastra Jepang nilaimu lah yang paling baik begitupun pada saat eskul Bahasa Jepang, Aisyah lah yang paling aktif. Jadi ibu merekomendasikan Aisyah untuk mengikuti lomba pidato berbahasa jepang. Ini formulirnya tolong diisi ya Aisyah”
“Ba..ba.. baiklah bu”
Kekhawatiran itupun serasa luluh berganti dengan perasaan lega. Namun, dengan mata melotot, aku pun terkejut melihat biaya pendaftarannya. Tapi karena tak enak dengan Ibu Nozawa, aku pun tersenyum tipis.
“Tenang Aisyah, soal biaya pendaftarannya biar Ibu yang menanggungnya” sembari Ibu Nozawa tersenyum ramah
“Subhanallah.. Ini serius ibu? Alhamdulillah Yaa Allah, InsyaAllah Aisyah tidak akan mengecewakan ibu” mataku pun berkaca-kaca mendengar pernyataan Ibu Nozawa.
***
Hari demi hari pun berganti, tak ku siakan sedetik pun waktu yang terlewat. Bagiku apa yang dikatakan Ibu Nozawa bukan hanya sekedar pujian, melainkan sebuah amanah. Cermin dan secarik tulisan inilah yang menjadi saksi buta kesungguhanku.
Hingga tepat di hari ini, aku berdiri di atas podium, membacakan bait per bait tulisan yang ku rangkai, menukar-nukar posisi kertas yang ku pegang. Yaapp.. sungguh jantung ini dagdigdug menunggu hasilnya.
“Aisyah, tadi pidatonya bagus sekali. Suara Aisyah juga lantang, jangan gugup gitu dong.. Ibu yakin Aisyah menang” hibur Ibu Nozawa kepadaku.
“Aamiin bu, tapi Aisyah takut mengecewakan Ibu. Ibu sudah banyak berkorban untuk lomba ini” jawabku dengan mata berkaca-kaca.
“Tidak apa-apa, soal itu jangan Aisyah pikirkan lagi yaa. Ibu bangga dengan Aisyah, karena Aisyah sudah mau berusaha” jelas Ibu Nozawa dengan senyuman hangatnya.
Peserta lain pun saling bergantian naik ke atas podium. Kelantangan suara mereka semakin meyakinkan ku bahwa mereka adalah rival yang berat. Hingga sampai dipenghujung acara dan dalam hitungan beberapa menit lagi hasil perlombaan pun dibacakan. Terlihat juri yang sibuk mendiskusikan 3 Jagoan pada hari ini. Nampak kerutan wajah dari juri menandakan bahwa sulit untuk menentukan siapa Jawaranya. Hingga.. tersebutlah 3 Jagoan itu.
“Tidak apa-apa Aisyah. Menang dan kalah itu hanya bumbu dalam perlombaan, yang terpenting adalah bagaimana usaha Aisyah untuk mengikuti perlombaan ini. Ibu yakin Aisyah oarang hebat yang tak mungkin menyerah hanya karena pernyataan juri tadi” terang Ibu Nozawa sembari memelukku.
Sedih sekali rasanya, ketika aku sukses membuat Ibu Nozawa kecewa. Dari urutan 1 sampai 3 tak ada sama sekali terselip namaku. Perasaanku jadi tak karuhan, hanya rasa bersalah kepada Ibu Nozawa yang ku rasakan saat ini. Namun, kata-kata Ibu Nozawa tadi membangunkan ku dari kesedihan yang melarutkan ku. Bukankah itu prinsip utama ku? Tak boleh menyerah begitu saja. Sepulang dari perlombaan aku pamit pada Ibu Nozawa dan bergegas pulang kerumah. Sesampainya, aku bergegas menuju kamar. Merebahkan tubuh mungil ini di atas kasur sambil memandang secarik kertas yang tertempel dilemariku. Tiba-tiba muncul ide untuk menebus kekecewaan Ibu Nozawa saat itu.
“Kali ini, aku harus merahasiakannya dari Ibu Nozawa. Jangan sampai aku mengecewakan beliau lagi” ucapku didepan secarik kertas itu.
Ku ambil laptop ku dan ku telusuri laman-laman yang biasanya mengadakan perlombaan dengan hadiah pergi ke Jepang. Alhamdulillah, aku pun menemukannya. Ku putuskan diriku untuk mengikuti perlombaan itu. Namun, biaya pendaftarannya. Aku hampir pingsan memikirkannya. Sungguh tak enak hati bila aku harus merengek kepada ayah, sudah cukup aku merepotkan beliau. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyisihkan uang saku ku. Karena deadline lomba yang masih lama, aku rasa ini akan cukup.
***
Sesampainya di sekolah, aku mencetak formulir di ruang keseketariatan Ekskul Bahasa Jepang. Aku pun mengendap-ngendap keluar dari ruangan itu. Aku tak ingin Ibu Nozawa melihat formulir ini. Setelah lolos dari ruangan, aku bergegas lari menuju kelas. Namun, (bruukk) aku tak sengaja menabrak Ibu Nozawa, buku-buku  pun terhambur diatas lantai, begitupun dengan formulirku yang terbang menghampiri Ibu Nozawa.
“Maafkan Aisyah ibu, Aisyah tak sengaja” ucapku sambil membantu Ibu Nozawa membereskan bukunya dengan tatapan mata yang mengkeker kertas formulir itu.
“Tidak apa-apa Aisyah, ada apa dengan Aisyah? Mengapa seperti terburu-buru?” jawab Ibu Nozawa sambil merapikan buku yang hampir selesai tersusun.
Aku pun hanya membalas pertanyaan Ibu Nozawa dengan senyuman tipis. Setelah buku itu tepat selesai tersusun, aku pun bergegas mengambil kertas formulir yang berada dekat Ibu Nozawa sambil berharap beliau belum membacanya. Setelahnya aku pamit dan pergi meninggalkan Ibu Nozawa dengan wajah bingung penuh tanda tanya.
(krrrrrrkkkk... krrrrrrkkkk... krrrrrrkkkk...)
“Astagfirulloh.. maafkan aku kertas”
Kamar yang amat sempit ini, sekarang menjadi lebih sempit lagi dengan taburan kertas-kertas yang berisikan gambar-gambar manga dan dialognya. Butuh berhari-hari untuk aku menyelesaikannya, dan sekarang hampir saja aku merusaknya dengan kakiku yang jail ini. Berhari-hari aku menghabiskan waktuku dikamar untuk mengejar deadline. Yaa.. target itu harus kupastikan tidak melenceng jauh. Mengingat kejadian minggu lalu dipodium, dan aku tidak boleh lengah walau sedetikpun.
(Kriiingggggg)
Alarm pun sukses membangunkan ku. Aku tak sadar sehabis sholat aku tertidur ditumpukkan kertas-kertas yang siap untuk kutukarkan dengan tiket kemenangan. Yeaayy, aku bergegas dan kemudian berangkat ke sekolah.
Sepulangnya dari sekolah, aku bergegas berlari ketempat pengumpulan hasil karya perlombaan itu. Ramainya lalu lalang orang cukup membuatku kesulitan untuk berlari lebih cepat lagi, ku susuri gang-gang sempit demi mendapatkan jalan yang lebih sepi dari jalan raya. Teriknya sang surya siang ini cukup menggodokku disepanjang jalan. Waktu yang terpampang di jam tanganku cukup meyakinkan ku bahwa aku akan sampai disana tepat waktu. Deadline tersisa 5 menit lagi dan aku tepat berdiri dihadapan gedung itu, aku tersenyum simpul bersyukur kepada Allah atas karunianya ini. Ku cepatkan langkahku bersama doa-doa yang tak lupa kuselipkan disetiap langkah itu.
(bruukkkk) Yaa Allah, aku tak sengaja menabrak seorang wanita asing, alhasil karyaku terbang berhamburan kemana-mana. Wanita itu pun merasa bersalah dan berulang-ulang meminta maaf kepadaku sembari membantu merapikan kembali hasil karyaku. Entah mengapa saat itu aku merasa seperti manusia jahat yang tak menghiraukan sedikitpun wanita tersebut, aku hanya terpaku pada karyaku. Seperti terlatih, tanganku dengan cekatan merapikan susunan-susunan kertas itu sembari berharap tak ada kesalahan yang membuat posisinya tertukar. Setelah selesai aku bergegas ke ruangan pengumpulan hasil karya. Namun apa yang terjadi? Karyaku ditolak dengan alasan aku sudah telat beberapa menit. Yaa Allah, dada ini terasa seperti sulit untuk bernafas, sesak! Cobaan ini sungguh tak terpikirkan. Kuputar balik langkahku, kali ini langkah kaki ku tak secepat ketika aku berangkat. Kali ini langkah kaki ku tak sendirian, Ia ditemani dengan air mata yang ikut membantu kaki ku menghitung langkahnya.
Tepat diruang sekre, kuhempaskan kertas keramat itu. Kertas yang telah kupercantik dan ku jaga berminggu-minggu itu kini tak ada artinya. Aku bersyukur tak pernah menceritakan ide gila ini kepada Ibu Nozawa. Kenapa begitu? Karena kalau aku menceritakan hal ini padanya, berarti aku sukses membuatnya kecewa dua kali. Bayangkan dua kali!
Tapi aku yakin, Allah punya rencana lain. Aku tidak akan menyerah hanya karena penolakan halus panitia itu. Mungkin ucapannya tadi sukses menjatuhkan air mataku, namun tidak dengan semangatku. Yaa! Tidak akan pernah!
***
Sekre ini terlihat sepi sejak juri itu bertindak tidak adil terhadap Aisyah. Aku yakin, harusnya nama Aisyah terselip diantara 3 jawara yang telah dinobatkan. Namun apa? Juri itu sukses membuat muridku terjebak dalam perasaan bersalahnya. Ooh Aisyah.. Ibu tidak pernah sedikitpun kecewa padamu nak!
(kkkrrrrkkk)
 “Kertas apa ini? Mengapa berserakan seperti ini?”
Didalam sekre aku menemukan kertas-kertas berserakan. Kertas itu lebih akrab ku panggil komik. Ukiran gambar dan dialognya sangatlah Apik. Sangat pantas apabila pengarangnya dinobatkan sebagai sang juara.
“Aisyah?”
Aku takjub ketika aku menemukan nama pengarangnya. Yaa.. pengarangnya adalah muridku yang kini sedang terperangkap dalam perasaan bersalahnya. Aku bahagia sekaligus terharu ketika mengingat kejadian bulan lalu. Ketika aku berkunjung kerumahnya untuk mengantarkan sertifikat kelulusan privat Bahasa Jepangnya. Tak sengaja aku melihat secarik kertas yang tertempel dilemari kamarnya. “Nana Korobi Ya Oki”, yang dalam Bahasa Indonesia artinya “Jatuh Tujuh Kali, Bangkit Delapan Kali”. Disanalah, tepat didepan pintu kamarnya aku memiliki keyakinan bahwa kertas mungil itu bukan tertempel tanpa sebab. Melainkan kertas itu merupakan simbol dari diri Aisyah. Kini.. keyakinanku itu semakin diperkuat dengan kegigihan Aisyah yang mampu untuk bangkit lagi. Rupanya aku hampir salah menilainya. Aku pikir dia sedang terkurung dalam perasaan bersalahnya.
“Ooh Aisyah.. ibu semakin bangga padamu nak!”
Tak terasa air mataku jatuh satu per satu. Sungguh rasa terharu ini tak mampu membendungnya. Kuputuskan karya ini untuk ku ikutsertakan dalam ajang bergengsi. Kali ini dugaanku tidak akan meleset. Aku yakin Aisyah akan dinobatkan sebagai pemenang. Festival of Tokyo tidak akan mampu menolak karya sebaik ini.
“Aisyah, sabarlah menunggu penobatanmu nak!”
***
Hari ini adalah hari terakhir aku bersekolah. Senang rasanya karena seminggu lagi lebaran akan tiba. Namun aku sedih, karena harus berpisah dengan bulan Ramadhan yang mulia ini. Ramainya siswa-siswi yang saling salam bersalaman membuat aku kesulitan menemukan Ibu Nozawa. Kali ini aku akan benar-benar meminta maaf pada beliau karena aku belum bisa menebus kekecewaannya sejak peristiwa dipodium itu. Tiba-tiba aku tersentak kaget ketika ada sesorang yang menepuk bahuku. Sontak akupun menengok.
“Ibu Nozawa? Ibu membuat Aisyah kaget saja bu” responku sembari tertawa kecil
Namun aku bingung, Ibu Nozawa tidak mengindahkan responku. Tatapan tajam Ibu Nozawa seperti memberi signal bahwa beliau sedang tidak sedang di zona bercanda. Tanpa kuminta, jantung ini menjadi berdetak lebih kencang. Masih dengan tatapan yang sama, Ibu Nozawa memberikanku secarik surat. Entah itu surat apa. dibungkus rapi dalam amplop putih mulus bersih. Deguban jantung ini kini ditemani dengan rasa kekhawatiran yang hebat.
“Bukalah surat itu dan baca!”
Tangan yang sedari tadi gemetaran mencoba untuk membuka amplop tersebut. Dengan kebaranian ala kadarnya, kucoba menyisir satu per satu kalimatnya. Sembari berharap tak ada duka yang tersirat didalamnya.
“Festival of Tokyo? Juara Terfavorit kategori komik?”
Aku pun semakin bingung dengan kalimat-kalimat didalamnya. Aku rasa Ibu Nozawa salah mengantarkan surat. Aku hanya memasang muka bingung disepan Ibu Nozawa. Ku tatap sekali lagi wajah beliau. What? Aku lebih kaget ketika kudapati wajah beliau berubah. Tatapan tajam beliau tadi seolah-olah luntur oleh senyuman hangatnya. Yaa Allah.. aku semakin bingung dengan ini semua.
“Selamat yaa nak, Ibu bangga padamu! Komik yang Aisyah tinggalkan disekre minggu lalu, ibu ikut sertakan dalam Festival of Tokyo. Dan dengan kegigihan Aisyah, kini Aisyah berhak mendapat gelar ini”
Ibu Nozawa sontak memelukku. Aku pun membalas pelukan  hangatnya. Tak lupa kusampaikan ucapan terima kasihku bersama isakan tangis haruku. Aku tak pernah menyangkanya. Terimakasih Yaa Allah atas kado spesial yang telah Kau berikan lewat tangan Ibu Nozawa. This is My Special Ramadhan. Hadiah istimewa dibulan yang juga istimewa.
“Bersiaplah nak! Seminggu lagi kau akan pergi ke Jepang untuk bertemu dengan tempat jati dirimu berasal. Nana Korobi Ya Oki!” tegas Ibu Nozawa sambil tersenyum
“Lho? Bagaimana Ibu tau?”
“Kejadian sebulan lalu, tepat ketika ibu berkunjung kerumahmu. Secarik kertas itu. Ibu yakin itulah jati dirimu!”
Aku pun semakin larut dalam suasana haru. Tak henti-hentinya kuucapkan rasa syukur kepada Allah, juga ucapan terimakasih kepada Ibu Nozawa yang terus mengalir bersama air mataku. Ibu Nozawa, terimakasih sudah percaya dengan secarik tulisan itu. Terimakasih telah meyakini bahwa itu adalah jati diriku. Terimakasih telah mengantarkanku ke Negara Impianku. Terimakasih ibu!


Nana Korobi Ya Oki

“Jatuh Tujuh Kali, Bangkit Delapan Kali”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

10.10 | 76 Tahun Indonesia, Apakah Sudah Merdeka Se-utuhnya ?

  Assalamualaikum warahmatullah Wabarakatuh Sobat   Al-Hijrah Salam Sejahtera dan Salam Sehat untuk Kita semua   Di Tahun 1945, Tepa...