Sabtu, 19 Agustus 2017

Menantap Cermin


Menantap Cermin

“Allahu Akbar, Allahu Akbar………….” Suara itu membangunkanku. Memanggil dan mengingatkan pada Yang Maha Kuasa. Segera aku bangun dan menyucikan diri. Kulanjutkan dengan sholat subuh. Seperti biasanya, aku selalu membantu mama membuat donat pisang, yang biasanya kujajakan di sekolah.
“Ilmi, tolong ambilkan gula dan tepung di lemari.”
“Iya Ma.”
Inilah kami keluarga kecil yang sangat sederhana. Rumah pun masih setengah jadi. Beratap seng yang dihiasi lubang kecil-kecil. Entah berapa jumlah lubang itu. Setiap datang hujan, air menyelinap masuk melewati lubang-lubang itu. Namun tak perlu kami cemaskan, karena dengan seketikanya air itu akan hilang ditelan bumi.
“Ma, Ilmi berangkat dulu ya, assalamualaikum,” sembari mencium tangan mama.
“Iya, hati-hati Nak, wa’alaikumsalam.”
Seperti biasa, aku pergi ke sekolah mengendarai sepeda peninggalan almarhum papa tercinta. Tak ketinggalan pula, keranjang kecil berisi puluhan donat selalu mendampingiku.
“Apakah kau akan terus berjualan kue itu?” sebuah pertanyaan terlontar ketika aku sedang berjualan.
“Maksudnya?” tanyaku kembali.
“Apakah kau hanya berpikir kau akan tetap berjualan donat yang hasilnya tak seberapa?” dia melontarkan kembali pertanyaan itu.

` “Aku tak mengerti apa maksudmu, tapi hanya inilah yang aku bisa.”
“Apakah kau bepura-pura bodoh? Lantas tak tau apa yang seharusnya kau lakukan! Kau adalah orang yang pintar. Kau pandai dalam melantunkan ayat-ayat Al-Quran. Masih tetapkah kau berpendirian untuk berjualan kue itu?” tanyanya kembali dengan maksud yang sama.
“Ya, aku tahu. Aku hanya orang miskin, terlahir dari keluarga tak punya, warisan pun tak ada. Hanya bakat pembuat donat yang tersisa. Jelaslah berbeda denganmu. Orangtuamu pengusaha yang kaya raya. Rumah di mana-mana bahkan sekolah ini pun kau yang punya,” jawabku kesal.
“Sejak kapan kau jadi bodoh seperti ini? Pikiranmu begitu sempit! Kalau kau mau, kau bisa mengubah hidupmu. Tak perlulah kau menghabiskan waktumu tuk membuat kue. Kau ini orang pintar, prestasimu menjulang tak patutlah kau pasrah pada garis keturunan. Kau punya banyak peluang!”
“Banyak peluang? Tidakkah kau lihat begitu sulit mencari pekerjaan? Sarjana-sarjana pun haus akan pekerjaan, apalagi aku yang masih siswa SMA? Ijasah pun belum ada.”
“Lupakah kau pada Q.S.ar-Ra’ad ayat 11. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri? Ilmi, kesuksesanmu tidak akan pernah terwujud, jika kau tak melakukan perubahan. Berkacalah, dan lihat apa yang ada dalam dirimu, jika hatimu penuh dengan kekosongan dan keburukkan, dekatkanlah hatimu, mintalah petunjuk dan berikhtiarlah kepada Allah SWT. Semua orang tentu menginginkan

bernasib baik dan beruntung. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan.”
“……..” Aku hanya terdiam. Mulutku terkunci.
“Minggu depan Ayahku mengadakan lomba tilawah Al-Quran, pemenangnya akan dikontrak untuk rekaman dan akan mendapatkan tiket umroh,” dia menyambung lagi perkataannya.
“Benarkah itu? Bisakah aku mendaftar?” tanyaku penasaran.
“Tentu, ini terbuka untuk umum. Kau hanya perlu menyisihkan Rp 25.000,00 untuk pendaftaran.”
“Terima kasih untuk infonya Dewi.”
Bel pulang berbunyi. Segera aku kayuh sepedaku. Dalam hati aku bertanya sendiri. “Apakah aku bisa menang?” pertanyaan itu terus menghantuiku di sepanjang jalan.
“Assalamualaikum,” sambil mengetok pintu yang sudah lapuk.
“Wa’alaikumsalam. Gimana tadi sekolahnya Nak?” tanya mama sambil membuka pintu.
“Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar Ma.”
“Syukurlah,” sahut mama sambil mengelus dada.
“Ma, minggu depan ada lomba tilawah Al-Quran, dan Ilmi ikut lomba itu, tapi Ilmi ragu Ma, apakah Ilmi bisa menang?”
“Ilmi, menang bukanlah tujuan utama dalam berkompetisi. Yang terpenting adalah pengalaman. Hal paling mahal di dunia adalah pengalaman hidup dan pengalaman adalah guru terbaik,” jelas mama.

“Tapi Ma, kompetisi ini sangat menentukan masa depanku. Jika Ilmi menang, Ilmi akan dikontrak untuk rekaman Ma, dan Ilmi bisa terkenal.”
“Jalan hidupmu bukan hanya ditentukan oleh suatu perlombaan, masih banyak jalan lain untuk meraih cita-citamu, Nak.”
“Tapi bisakah Ilmi mendapatkannya? Kita orang tak punya Ma.”
“Duduklah Nak, mama akan menceritakan suatu hal.”
“Baik Ma.”
Mama pun mulai bercerita.
Pada zaman Khalifah Umar bin Khattab, ada seorang pencuri yang tertangkap basah saat melakukan aksinya.
“Ampun.. ampuni saya!" teriak si pencuri.
“Kau tak pantas diampuni!” jawab seorang penduduk.
“Sekarang ayo kita bawa dia ke hadapan Khalifah Umar!” pencuri itu pun digeret ke hadapan Khalifah Umar.
“Mengapa Engkau mencuri?” dengan lantang Khalifah Umar bertanya.
“Karena aku sudah ditakdirkan Allah menjadi pencuri.” begitulah jawaban pencuri itu.
“Pukul saja orang ini dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya!” Khalifah Umar sangat marah.
“Mengapa hukumnya diberatkan seperti itu?” tanya seorang penduduk.
“Ya, itulah yang setimpal. Ia wajib dipotong tangannya sebab mencuri dan wajib dipukul karena berdusta atas nama Allah.”

Tarikan nafas mama menandakan ia tak ingin disela, dan aku membunuh keinginanku untuk bertanya saat itu juga
“Janganlah sekali-kali menjadikan takdir itu sebagai alasan untuk malas berusaha dan seakan-akan hidupmu tak bisa diubah. Pepatah Arab mengatakan Man jadda wajada, yang artinya Siapa pun orangnya yang bersungguh-sungguh akan memperoleh keberhasilan. Karenanya Ilmi harus terus berusaha. Tunjukan pada mama bahwa Ilmi bisa memberikan yang terbaik. Jangan pernah putus asa. Berkaryalah sesuai kata hatimu, jangan mengikuti hawa nafsumu. Jika Ilmi terjatuh maka bersabarlah, karena itu adalah ujian. Sebaliknya jika Ilmi berhasil, bersyukurlah dan jauhkanlah diri dari sikap sombong.” beitulah mama. Mama pandai bercerita.
Berkat semangat dari mama aku semakin percaya diri. Kusempatkan waktu luangku untuk persiapan lomba.
Hari berganti hari. Hari yang kunanti telah tiba.
“Kukuruyuk..kukuruyuk.”Alarm membangunkanku. Aku pun terbangun dengan penuh semangat. Kulanjutkan mandi dan sholat subuh. Sarapan pagi telah tersedia di meja makan bersama mama yang menyambutku dengan secuil senyuman. Hari ini begitu berbeda. Seakan almahrum ayahku turut menyemangatiku.
“Sini Nak, sarapan dulu.” mama tersenyum menyambutku.
Kali ini terasa berbeda, masakan mama seakan mendukungku dalam berlomba. Terasaya lezat tak hanya di lidah saja, tetapi sampai ke ujung jiwa.

“Ma, Ilmi minta doa restunya ya Ma, doakan Ilmi agar dapat menampilkan yang terbaik.”
“Tentu Nak, mama akan terus mendoakanmu, agar kau di
mudahkan dalam segala hal, jangan lupa berdoa dan memohon kepada Yang Maha Kuasa, agar dimudahkan dalam berlomba.”
“Iya Ma, terima kasih banyak atas doa dan nasihatnya. Ilmi janji, Ilmi akan pulang dengan kemenagan Ma. Ilmi sayang Mama.”
“Ingatlah Ilmi, berusahalah dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati dalam menggapai cita-cita dan tujuan. Dan jangan lupa berdoa, sesungguhnya doa adalah ikhtiar batin yang besar pengaruhnya. Setelah itu bertawakalah kepada Yang Maha Kuasa.”
Di tempat lomba. Semua peserta mengenakan pakaian yang dihiasi kacing mungil dan mutira. Tak sepertiku, bajuku compang camping, tak pantas tuk dipandangi.
“Mengapa kau terlihat begitu murung bukankah ini hari perlombaanmu?”
“Aku… aku hanya malu,” jawabku tertunduk.
“Malu?”
“Mengapa kau berpura-pura tak tahu? Seakan kau tak melihat apa sebenarnya terjadi padaku?”
“Kau terlihat murung dan gugup, hanya itu yang aku tahu,” jawabnya seakan tak tahu.

“Lihatlah bajuku! Begitu berbeda dengan yang lain. Terlihat kusut dan kumal.”
“Apa yang kau bicarakan? Ini bukan pameran busana! Bajumu indah, tetapi tak semua bisa melihat itu. Hanya orang baik yang bisa merasakan.”
“Mengapa kau tak jujur? Enggankah kau megolok bajuku?”
“Hentikan itu! Sebaiknya kau persiapkan saja perlombaanmu. Bebaju bagus tak mesti menang. Berbaju jelek tak mesti kalah! Sebaiknya kau bercermin pada dirimu sendiri, hingga kau tau apa yang mestinya kau perbuat!” Dewi mulai emosi. Nada bicaranya semakin keras.
“Maaf, aku seharusnya bersyukur.”
Begitu panjang percakapa kami. Hingga tak terasa giliranku telah tiba. “A’udzu billahi minasy syaithaanir rajiim, bismillahir rahmaanir rahiim…..” Seketika semua terdiam mendengarkan ayat suci yang kulantunkan. Tepuk tangan yang begitu meriah pun kudapatkan.
Kini saatnya yang dinanti-nantikan. Rasa tegang dan gugup terlukis berbeda disetiap wajah peserta. Akupun demikian. Tak sekali aku menundukan badan.
“Juara 1 lomba Tilawan Al-Quran jatuh kepada…….. Muhammad Ilmi! Selamat dan silahkan menuju ke podium!”
Seketika detak jatungku berhenti. Mulutku yang tadinya tertutup rapat tiba-tiba terbuka lebar. Tanda tanya besar terlukis dimataku.
“Aku? Benarkah itu?”
“Ya, kaulah pemenangnya!”
Aku berjalan perlahan ke podium, tubuhku tak hentinya bergetar.

“Mengapa kau terlihat diam dan gugup? Tak sukakah kau menang?”
“Aku hanya tak tau apa yang harus kuperbuat. Ini adalah pertama kalinya.”
“Kau boleh bahagia atas kemenanganmu!”
“Bolehkah aku melampiaskan kebahagianku?” tanyaku kembali dengan penuh kepolosan.
“Hahahahahahhahaha.” Entah mengapa semua menertawaiku.
“Tentu saja, kaulah pemenangnya. Silahkan keluarkan ekspresi bahagiamu!”
“Hore!!!! Mama Ilmi menang Ma!” teriakku sambil berloncat-loncat di panggung. Kembali mengundang tawa banyak orang.
Rasa gembiraku tak tertahankan. Tak pernah disangka aku pulang dengan kemenagan. Akan kupersembahkan ini kepada mama tersayang. “Bagimanaya reaksi Mama ketika aku pulang? Munginkah Mama akan berteriak dan memelukku? Atau menciumku lalu membuatkanku nasi goreng favoritku?” begitulah aku, sepanjang jalan kuhiasai dengan bayangan-bayangan.
“Assalamualaikum. Ma Ilmi pulang Ma!” mama tak menyahut. Pintu rumah tak terkunci. Aku pun menyelinap masuk.
“Apakah Mama di rumah? Ma?” sambil melepas sepatu.
“Hm….. Mungkin Mama sedang di pasar.” pikirku. Kulanjutkan langkahku menuju kamar.
“Mama! Mama apa terjadi Ma?’ Tubuh mama tergeletak di lantai. Wajahnya begitu pucat. Tubuhnya dingin dan beku.

“Mama bangun, Mama jangan pergi Ma, Ilma bawakan janji Ilmi Ma, lihatlah Ilmi Ma….” Mama tetap membisu. Nafasnya telah terhenti.
“Tidak!!!! Mama!!!” Suara teriakan yang begitu nyaring mengundang tetangga sekitar. Tak dapat lagi aku menahan. Entah apa yang terjadi selanjutnya. Pikiranku melayang. Mataku tiba-tiba terpejam.
Lantunan surah Yasin membangunkanku. Gubuk kecilku dipenuhi warga sekitar. Kulihat mama yang terbujur kaku terbungkus kain kafan. Aku pun merayap menghampiri mama. Kudekap dan kucium untuk terakhir kalinya.
“Kini semua telah tiada! Papa pergi, Mama pun pergi. Mengapa ya Allah! Mengapa kauambil Mama secepat ini? Apakah ini semua karenaku. Mengapa kau tak ambil saja nyawaku?”
“Ini bukan salahmu!” subuah kalimat terlontar dari mulut seseorang.
“Paman?”
“Ilmi, ini semua telah ditakdirkan. Kau tak bisa menyalahkkan Tuhan! masa depanmu masih panjang, ini bukan akhir segala hal. Kau masih punya paman, bibi bahkan kau punya banyak teman.”
“Tidak Paman! Aku hanya menyesalkan takdir ini. Mengapa Mama pergi disaat aku membawakan kemenanganku? Mengapa Paman? Mengapa?”
“Mamamu belum pergi! Dia masih di sini. Meskipun jasadnya telah pergi, tapi rohnya masih tetap di sini. Mamamu tetap bisa melihatmu. Dia sekarang sedang tersenyum melihat kemenanganmu.”
“Tapi….”

“Taka ada yang perlu kau kwatirkan sekarang. Ilmi, ingatlah masa depanmu, jangan kau jadikan ini sebagai musibah, tapi jadikanlah ini sebagai pelajaran untukmu. Kau hanya perlu melihat dirimu sekarang, agar kau dapat mengetahui kesalahanmu dan kau dapat memperbaikinya.”
“Baik Paman, Ilmu mengerti.”
“Ilmu sekarang kau boleh memilih. Kau bisa tinggal bersama paman dan bibi, meskipun gubuk kami sangat kecil, tapi masih muat menampung awakmu.”
“Maaf Paman, Ilmi akan tetap di sini. Di gubuk yang penuh kenangan. Biarkan roh orangtuaku tetap menemani hidupku.”

BIODATA PENULIS
Nama : Diki Suganda
Tempat, tanggal lahir : Banjarnegara, 13 Oktober 1997
Alamat : Jl. Batu Besaung
Kampus : Politeknik Negeri Samarinda
No. Hp : 082253121122
Email : dikisuganda69@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

10.10 | 76 Tahun Indonesia, Apakah Sudah Merdeka Se-utuhnya ?

  Assalamualaikum warahmatullah Wabarakatuh Sobat   Al-Hijrah Salam Sejahtera dan Salam Sehat untuk Kita semua   Di Tahun 1945, Tepa...